Senin, 13 Januari 2014

KUMPULAN CERPEN CINTA

Kali ini saya akan menshare beberapa cerpen yang sudah saya baca dan tentunya menarik untuk di baca. Ok langsung saja:
1. Everything About You
Dear diary
“perlahan aku menjadi jatuh saat melihatnya, wajahnya mengalihkan duniaku, sehari aku tak melihat wajahnya serasa hatiku tak tenang. Okey cukup sampai sini puitisku.”
Namanya Diara, gadis berumur 17 tahun yang kini sedang merasakan jatuh cinta pada kakak kelasnya Dewa. Mereka juga tergabung dalam kelas jurnalis dan musik, yah bisa di bilang kisah cinta mereka dimulai dari seringnya bertemu.
“nad, kayaknya aku jatuh hati deh sama seseorang.” Ujar jujur Diara pada sahabatnya yang bernama Nada
“lo jatuh cinta? Sama siapa?” tanya Nada yang sangat terkejut.
“pada awan yang mendung tapi membawa pesona dan karisma.” Jawab Diara.
Nada menjadi bingung dengan jawaban Diara yang selalu puitis, “lo itu gak usah pakai bahasa kiasan deh, gue gak ngerti.”
Diara tak bicara satu kata pun ia hanya mengisyaratkan dengan senyuman khasnya,
“lo aneh! Suka pada orang gak mau ngasih tau gue.” Ujar kesal Nada.
“suatu hari nanti kamu pasti tahu.” Sahut Diara.
Di aula sekolah sedang ada latihan drama musikal, tak disengaja Dewa dan Diara datang dahulu sebelum semua datang di aula musik itu.
“kamu sudah datang?” sapa Dewa pada Diara sambil tersenyum manis.
“iya kak, yang lainnya mana?” tanya Diara sambil melihat sekeliling ruangan.
“nggak tahu, bagaimana kalau kita latihan dulu sambil menunggu mereka?” ajak Dewa.
Tanpa berkata apapun, Diara berjalan menuju panggung di depan. Di atas panggung Dewa duduk menghadap pianonya, Diara bersiap mengeluarkan suara emasnya. Lantunan melodi piano mengiringi suara Diara, mereka melantunkan lagu “A NEW DAY HAS COME”. Suara mereka sangat merdu dan indah.
“kamu banyak kemajuan Ra.”
“makasih kak, itu juga berkatmu.”
“yah meskipun begitu, tanpa usahamu kamu juga nggak akan berkembang.”
Mereka berdua saling menebarkan senyuman dan saling pandang satu sama lain. Tampak pandangan Diara pada Dewa seperti tak biasa.
“kak, boleh aku jujur?” ucap Diara yang tampak gugup.
“silahkan, emangnya mau jujur apa?”
“aku… aku… aku menyukaimu.” Diara berusaha jujur pada Dewa. Ekspresi Dewa sangat amat terlihat terkejut, ia memandang wajah Diara dengan pandangan bertanya-tanya. “Ra… itu?”
Sebelum Dewa melanjutkan ucapannya, Diara kembali bicara serta menjelaskan maksud ucapannya.
Satu tahun yang lalu, saat keramaian melanda kelas 11 IPA 3 tepat disana ada Diara yang sedang mencari seseorang, waktu itu Diara masih anak kelas 10. Disana tepat dengan Dewa yang berada di depan kelasnya. Tak sengaja saat itu Dewa menabrak Diara hingga jatuh ke lantai dan buku yang dibawanya berserakan di lantai. Terlihat ekspresi Diara sangat kesal.
“makanya kalau jalan lihat-lihat.” Ujar Dewa dengan laganya yang belagu banget.
“hah, setidaknya kamu minta maaf, kamu juga salah.” Sahut Diara dengan kesalnya sambil merapikan buku-bukunya.
Dewa hanya memandangnya sekilas, lalu ia pergi tanpa rasa bersalah. Kekesalan Diara mulai menjadi-jadi, tapi seakan itu mulai terobati dengan datangnya Angga anak kelas XII yang membantu Diara merapikan buku.
“sebaiknya kamu hati-hati, anak kelas atas emang seenaknya.” Ujar Angga
“aku mengerti, makasih kak Angga, aku duluan ya.” Sahut Diara.
Dalam hati Diara masih terbayang-bayang Dewa yang bersikap dingin padanya, rasa penasaran inilah yang terus melanda diri Diara tentang Dewa. Inilah awal Diara mulai mendekati Dewa, mulai dari masuk club musik sampai club jurnalis, ia terus masuk dimana Dewa sedang berada, sampai ia menemukan rasa penasarannya.
Rasa penasaran Diara mulai hilang dengan ia masuk di club musik bersama Dewa, penasaran itu terobati dengan sikap lembut dan pemerhati Dewa pada rekan-rekannya. Satu hal lagi, Diara terpilih menjadi salah satu pemeran di drama musikal yang berpasangan langsung dengan Dewa. Di atas panggung itu, Diara mulai merasakan perasaan yang berbeda pada Dewa, saat-saat beradegan mesra dengan Dewa dan saat bernyanyi bersama Diara menemukan sosok yang berbeda dalam diri Dewa ketika mereka bertemu pertama kali.
“saat itulah aku mulai menyukaimu, aku selalu berada di dekatmu agar kamu selalu melihatku, selama satu tahun ini aku tidak memberanikan untuk mengungkapkan. Tapi kali ini aku memberanikan untuk itu.” Jelas Diara
Dewa hanya bisa terdiam mendengar kejelasan yang sebenarnya, ia tak berkutik sama sekali. Terlihat raut wajahnya menunjukkan keterkejutan.
“ahhh, jadi begitu, kamu ikut ini karena aku.”
“awalnya aku hanya penasaran padamu, tapi setelah setahun ini aku bersamamu dan selalu memperhatikanmu, perasaan itu muncul. Maukah kamu menerima perasaan ini?” ujar Diara dengan rasa tulus.
“maaf, aku tidak bisa. Aku tak tahu apa yang harus ku katakan tapi kejujuranmu sudah mengkejutkanku.” Ucap Dewa yang masih sangat bingung.
“jadi tidak bisa ya, tidak perlu kamu pikirkan, aku hanya ingin jujur padamu. Itu saja. Makasih atas jawabannya.” Ujar Diara dengan perasaan kecewa.
“kamu pasti kecewa, tapi aku juga harus jujur. Dan inilah jawabanku.” Sahut Dewa dengan jawaban yang tegas.
Diara menghela napas sejenak, dengan mengangkat wajahnya dengan kepura-puraan Diara mengatakan tidak apa-apa dan memaparkan senyuman pada Dewa, Dewa juga membalas senyuman itu.
“kita masih bisa melanjutkannya lagi?” suasana yang tegang kembali normal dengan Diara membuka percakapan kembali.
“boleh…” Sahut Dewa.
Mereka melanjutkan kembali aktivitasnya, tak lama anak-anak yang lain sudah mulai berdatangan untuk berlatih dalam drama musical.
Diara hanya bisa menangis dalam hati dengan penolakan Dewa, tapi ia akan mengikhlaskannya dan berusaha membuang rasa itu. Di sepanjang perjalanan Diara terus saja memikirkan dan terbayang wajah Dewa sampai ia tak menyadari ada sosok Angga yang sedang mengikutinnya di belakang.
“woi!!!” kejut Angga sambil menepuk pundak Diara.
“ohw… Kamu.” Ujar Diara yang tampak sangat lesu.
“kenapa sih? Loyo banget kayak nggak punya tenaga gitu. Kayak bukan Diara gitu.” Sahut Angga yang merasa aneh dengan sikap Diara.
“kenapa pingin tahu banget… kepo deh mulai.” Sahut kesal Diara yang tampak tak bersemangat.
Tiba-tiba Angga menarik tangan Diara dan mengajaknya berlari lari sekencang mungkin. Tak peduli kendaraan berlalu lalang disana, Angga tetap nekat berlari bersama-sama dengan Diara. Diara yang awalnya terlihat lesu, kini menjadi ceria setelah mencoba berlarian sekencang mungkin. Kini perasaan Diara yang gundah seakan terobati dengan munculnya diri Angga.
“maksih ya kak, kamu udah bikin segala kegundahan seakan terobati meskipun itu hanya sesaat.” Ujar Diara
“nih minumlah pasti lelah. Kalau kamu lagi sedih atau apa coba saja berlari sambil olahraga pasti semua itu akan hilang dengan berjalannya waktu.” Sahut Angga sambil menyodorkan sebotol minuman yang dibelinya.
“nggak tahu kenapa, aku beruntung kenal kakak. Aku merasa damai jika selalu dekat kakak.” Ujar hati Diara.
“pulang yuk, aku anter.”
Mereka pun kembali pulang setelah berlarian seperti orang gila, kali ini mereka tidak berlari, tapi Angga yang saat itu membawa motor, ia membonceng Diara sampai rumahnya.
“apa beruntungnya hidup dalam pemikiran sempit, hati yang selalu tersakiti, hati yang terkhianati, sakit rasanya. Bagaikan teriris jarum yang tajam yang tak mau lepas. Aku tak mau hidup seperti itu menangis dan mengemis cinta yang hanya bisa kurasakan. Aku harus melupakannya, cinta yang hanya bersemayam selama 1 tahun lamanya tak terbalas secuil pun. Apa gunanya berharap hanya sekedar berharap.” Ujar hati Diara yang tampak sangat sedih.
Di malam yang dingin, Diara mendekat ke arah jendela, ia memandangi bintang-bintang bertaburan di langit. “seandainya aku bisa sepertinya, menyinari hatiku agar tak gelap karena cinta.”
Di malam itu, terdengar lirih suara dari arah pagar rumah Diara. Sosok Angga tampak berdiri memanggil Diara yang masih melamun di dekat jendela. Sekedar memandang wajah cantik dan rupawan, itu tujuan Angga datang menghampiri rumah Diara, tapi tujuan memang telah ditakdirkan oleh Tuhan memandangnya dari balik jendela. Tapi pandangannya seakan mengisyaratkan kegalauan dalam hatinya, membuat hati Angga seakan tak tenang.
“Ra… Ra…” panggil lirih Angga pada Diara.
Seperti sesorang ada yang memanggilnya, ia terbangun dari lamunannya. Dan mencari-cari keberadaan suara itu. Orang yang ia lihat Angga yang berdiri di balik pintu pagar rumahnya. Diara segera beranjak dari tempatnya menuju keluar rumah mengahampiri Angga di depan.
“apa yang kamu lakukan disini?” tanya Diara
“aku…? Mencerahkan sinar malam dengan jalan-jalan.” Sahut Angga dengan candaannya.
“masuk dulu, tapi kak Rafi sedang tak ada di rumah.” Ajak Diara
Mereka berdua masuk ke teras rumah Diara, sejenak Diara kembali ke dalam untuk membuat segelas minuman. Setelah itu Diara kembali ke teras, dalam jalannya ia mendengar suara petikan gitar yang indah dan suara yang merdu, ia segera mendekatinya ternyata suara itu berasal dari Angga yang sedang menyanyi dengan merdunya. Serasa suasana saat itu berubah menjadi suasana haru mendengar lagu Westlife “I WANNA GROW WITH YOU”, lagu itu membuat hati Diara semakin tersentuh, pas dengan suasana yang di inginkan Angga untuk menghibur Diara.
“I wanna grow with you…” suara Diara mengikuti suara Angga di akhir lagu.
“suara mu indah Ra…” puji Angga sambil menghentikan lantunan gitarnya.
“alunan musikmu juga indah dan musikmu merasuk perasaan yang mendengarnya.” Ujar Diara dengan menaburkan senyuman indah untuk Angga.
“how, kamu tersenyum. Nah gitu donk cantik lagi kalau kamu tersenyum, galau aja.” Goda Angga.
“ini minum dulu pasti kering tuh kerongkonganmu.” Sahut Diara mengalihkan ucapan Angga.
Sejak malam itu, Diara dan Angga tampak selalu bersama-sama. Apalagi Angga menjadi guru musik Diara untuk membantu Diara dalam pentas drama musikal sekolah. Tepat hari ini adalah pentas drama musikal sekolah diadakan, semua siswa-siswi serta alumni juga diundang dalam acara itu. Angga juga datang untuk menyaksikan Diara tampil, tapi ia sejenak menghampiri Diara di balik panggung. Di ruang make up Diara tampak tak tenang disana, sosok Dewa menghampiri diri Diara yang sendirian sebelum Angga tiba.
“sedaang apa kamu disini sendiri anak-anak sudah ada di belakang panggung?” tanya Dewa sambil tersenyum manis.
“aku… sedang berlatih disini, baiklah aku akan kesana.” Sahut Diara yang tapak gugup dan nervous.
Saat berjalan keluar, tiba-tiba kaki Diara keseleo sehingga hampir membuatnya jatuh. Untung saja Dewa segera memegangi tubuh Diara agar tak jatuh. Kejadian itu membuat mata keduanya saling bertemu dan memandang satu sama lain. Hal itu disaksikan oleh Angga yang berada di balik pintu ruang make up.
“kamu tidak apa-apa?” ujar Dewa yang tampak cemas
“tidak apa-apa, mungkin gara-gara grogi.” Sahut Diara sambil mencoba berdiri.
Angga yang tak tahan dengan kejadian itu, memutuskan untuk masuk menemui Diara. Dewa terkejut sosok Angga datang.
“Angga, sedang apa kamu disini?” tanya Dewa
“aku ada urusan sebentar dengan Diara.” Sahut Angga dengan berjalan mendekati Diara. Angga langsung saja menarik tangan Diara dan keluar dari ruang itu. Dewa sangat terkejut dengan tindakan Angga pada Diara. Angga dengan hati-hati membawa Diara ke belakang panggung, usai tiba mereka berhenti.
“ada apa sih kak, gak biasanya kakak bersikap seperti itu.” Ucap Diara
Tanpa mengeluarkan kata-kata, tangan Angga tiba-tiba memegang pipi Diara dengan mata penuh pandangan haru dan romantis.
“jangan bicara, dengarkan aku dulu.” Ujar Angga
Diara sejenak diam, Angga membisikkan sesuatu di telinganya. Sempat dengan mata melebar mendengar ucapan yang ia dengar dari Angga, Diara hanya diam dan mendengarnya. Sebuah kecupan datang menghiasi pipi Diara dari Angga. Tampak pipi memerah dan hidungpun memerah di wajah Diara.
“kumohon…” Ujar singkat Angga yang kemudian pergi.
Diara memandang langkah Angga hingga bayangannya tak terlihat lagi.
Pertunjukkan kini dimulai, Diara dan Dewa mulai memainkan perannya. Mereka adalah peran yang sangat ditunggu-tunggu dan penentu dari suksesnya pertunjukkan itu. Terlihat penampilan mereka sangat menagumkan saat mereka menyayikan sebuah lagu dari Celine Dion “a new day has come”, tampak Diara bernyayi dengan penuh perasaan dan penghayatan, begitu juga dengan Dewa yang menjadi lawan mainnya. Ada kalimat unuk mengakhiri pertunjukkan, “segala apapun yang kamu lakukan, aku menghargai semua itu, aku minta maaf tak bisa menerimanya, hatiku juga hancur, tapi cinta adalah segalanya yang tak harus dimiliki sendiri, kita harus membagi cinta itu. Suatu hari nanti kita akan bertemu my beautiful girl.” Ujar Dewa dalam drama.
“hanya satu kata untumu… I wanna wait you, everywhere, anytime, I want stayed for you. I promise.”
Adegan itu berakhir dengan Dewa memberikan sebuah kecupan manis di kening Diara. Semua penonton bertepuk tangan dengan penuh haru melihat drama yag sangat mengesankan.
Usai drama selesai, Diara segera berlari mencari seseorang di kerumunan orang disana. Tapi sosok Angga yang ia cari tak terlihat sama sekali. Kekecewaan terpancang dalam raut wajah Diara, tapi itu pupus dengan datangnya seseorang memberikan sekuntum bunga merah beserta sepucuk note. “aku menunggumu.”
Membaca surat itu, Diara segera berlari mencari keberadaan Angga. Sekencang mungkin ia berlari dengan berpikir keras dimana Angga berada, sampai ia tiba di taman tempat dimana Diara pertama kali mengenal Angga. Diara melihat sosok Angga berdiri membelakanginya dengan suasana yang begitu romantis, perlahan Diara mendekati Angga.
“kak…!”
“aku senang kamu datang.”
“ini…?”
“aku tak ingin membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, hanya diam menyaksikan apa yang akan menyakiti hatiku. Perih, jika hanya memandang wajahmu yang bersinar dari kejauhan. Dan hari ini aku ingin itu tidak akan terjadi, karena aku ingin jujur padamu. Aku… aku… menyukaimu.”
“kamu berharap aku akan menerimanya kan? Kamu belum tahu sepenuhnya aku. Aku tak seindah apa yang kamu bayangkan. Kamu tahu? Aku datang kesini, aku mencarimu aku tidak tahu apa yang kulakukan. Tapi dari kamu membisikkan itu padaku, aku terus berpikir, berpikir dan berpikir. Apa aku tepat untukmu? Itu yang kupikirkan.”
“cintaku buta padamu, dengan cinta buta itulah aku menghapus perasaan benci untukmu. Aku tahu kamu menyukai Dewa, kamu sedih karena Dewa menolakmu. Tapi aku percaya masih ada ruang untukku di hati kecilmu. Maka dari itu aku ingin maju dan mendapatkan hatimu, will you grow with me?”
Diara perlahan mendekati Angga hingga wajah mereka begitu dekat, tiba-tiba Diara memeluk erat tubuh Angga,” segalanya akan ku coba untuk tinggal.”. mendengar ucapan itu Angga sangat bahagia dan tak puasnya ia member ciuman di kening Diara.
SELESAI
Cerpen Karangan: Nadia Hayu Prasasti
Facebook: Nadya Zazky
nama: nadia hayu prasasti
ttl: blitar, 23 januari 1996

2. Cinta di Ujung Senja
Ia selalu usil dan menggangguku. Membuatku kesal saja. Huft! Tapi kenapa setiap kali ia tak datang ke sekolah, aku merasa ada yang kurang. Anak yang nakal, tapi kenapa bikin kangen? Dan sikapnya yang acuh memberikan pesona yang bikin jantung deg-degan.
Eits! Mikirin apaan sih kamu! Dia kan musuh terbesar kamu! Aku menggeleng sembari menatap sekilas ke arah Nunu yang tengah duduk di meja depan sambil jari-jarinya memainkan senar gitar dan menghasilkan bunyi yang sangat merdu. Sekilas mata kami bertemu dan ia tersenyum, cepat-cepat kualihkan pandanganku ke arah lain dan cepat-cepat menguasai hatiku sebelum jatuh dalam lubang yang tak mungkin bisa aku keluar dari dalamnya.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kelas dan pergi ke ruang OSIS. Aku lewat di depannya. Ingin sekali aku lihat wajahnya dan menyapanya, tapi entah mengapa pikiranku berkata untuk tidak menoleh padanya. Maka kubiarkan hatiku menangis karena tak bisa memandangnya dari dekat.
Aku mendesah pelan. Seolah ada sesuatu yang mencekat di dalam kerongkonganku. Seperti ada godam berat yang menjatuhi kepalaku, rasanya sakit sekali dan membuatku hampir terhuyung dan jatuh pingsan. Tapi, tiba-tiba tubuhku menegang, begitu kurasakan sebuah tangan menahan lengan kananku. Spontan aku berbalik dan menatap tajam pada sosok yang tersenyum jail, namun matanya selalu terlihat teduh dan membuat hatiku berdebar-debar hebat.
“Ada apa?!” tanyaku ketus.
“Nggak. Cuma mau bilang, tolong beliin minuman di kantin.” jawabnya enteng dan tentunya dengan senyum usilnya.
“Emang gue pembantu elo apa?” kataku masih dengan suara ketus.
“Iya. Elo emang kacung gue.” sahutnya tenang.
“Sejak kapan gue jadi kacung elo? daftar aja gue nggak ngerasa tuh!” kataku masih ketus dan cuek bebek.
“Sejak detik ini.”
“Emangnya siapa elo, berani-beraninya nyuruh gue dan ngaku-ngaku gue kacung elo?!”
Ini benar-benar keterlaluan. Aku tak dapat lagi menahan emosiku. Kalaupun kami berkelahi dan dipanggil BP aku tak merasa apa, karena dia duluan yang menyulut emosiku. Tiap harinya seperti tak ada hari yang damai tanpa pertengkaran kami. Hingga anak-anak yang lain merasa bosan untuk melerai kami.
Tanpa kuduga tubuh Nunu mendekat. Bikin jantungku mau copot aja. Aku tahu ia tersenyum senang, karena sudah membuatku berdebar dan pipiku memerah. Namun ternyata ia membisikan sesuatu di telingaku.
“Karena gue adalah hujan dalam hati elo. Dan elo nggak bisa membiarkan gue mati dalam hati elo. Jadi elo akan ngelakuin apa aja biar gue tetep hidup di hati elo. Dan elo jadi deh kacung gue.“ Nunu menjauh dariku dan tersenyum jahil.
Aku pasti menunjukkan wajah yang bego, sampai-sampai. Nunu mentertawakanku. Langsung saja kupasang wajah galakku. Bukannya takut, Nunu malah tertawa terpingkal-pingkal sampai memegang perut dan matanya berair.
Kesal! Tentu saja aku SANGAT KESALLL!!! Dengan perasaan dongkol, aku langsung ngeloyor meninggalkan Nunu yang masih tertawa terpingkal.
“Hey! Mau ke mana? Gitu aja ngambek!” serunya dari belakangku. Namun aku tak memperdulikannya. Aku tetap berjalan meninggalkan satu manusia menyebalkan itu dengan sejuta kedongkolan.
Hujan turun dengan derasnya, mengiringi hatiku yang terluka. Kuangkat tangan kiriku dan menengadah ke atas. Membiarkan tetes-tetes hujan menjatuhi telapak tanganku dan mengalir dari setiap lekuk jari-jariku sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Aku menatap sendu pada hujan yang terlihat seperti jarum berjatuhan dari langit. Hatiku sesak, seolah udara tak mengijinkanku untuk menghirupnya dan membiarkan paru-paruku melonggar sedikit saja.
Tubuhku terkejut saat sebuah tangan menyentuh tanganku yang kubiarkan basah oleh hujan. Ternyata aku melamun hingga tak menyadari seseorang datang mendekatiku. Aku menoleh dengan enggan dan menatap wajah yang tersenyum dengan mata yang teduh yang ingin selalu kulihat.
“Melamun lagi.” ucapnya dengan nada suara yang kudengar berbeda di telingaku dari suara-suara yang biasanya ketus dan jahil itu. Wajahnya menatap ke depan, menatap jari-jariku yang basah kuyup dan hampir membiru karena kedinginan.
“Mau apa elo?!” kata ketus dan marah keluar dari mulutku. Aku sendiri hampir tak percaya dengan apa yang kuucapkan. Detik kemudian aku melihat Nunu menoleh dengan cepat dan menatap dengan sorotan mata yang tak kumengerti. Sekilas aku merasa hatiku sakit saat menatap sorot mata itu.
“Kenapa kamu marah?” tanyanya masih dengan nada suara yang tak seperti biasanya.
Aku merasa dia aneh, kenapa ia tidak memanggilku dengan sebutan elo, tapi dengan kata kamu.
“Tentu saja aku marah, kau selalu saja mengusiliku. Dan sekarang kau pun pasti akan mengerjaiku. Apa kamu nggak pernah puas buat aku kesal? Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” teriakku di tengah suara hujan.
Aku terdiam dalam ketegangan saat tiba-tiba Nunu berbalik dan langsung menarik tubuhku dan memelukku. Aku merasakan nafasku memburu akibat emosi yang sedari tadi kutahan, serta rasa kaget yang menyatu dalam kebingungan. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak cepat di dadaku, serta nafasnya yang sama-sama memburu menahan emosi.
Aku meronta mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Aku tak mau orang lain melihat kami berpelukan di tempat sepi. Nanti apa kata mereka tentang kami. Anak SMA yang mesum. Tapi Nunu tak mau melonggarkan pelukannya, ia justru semakin erat memelukku hampir membuatku mati kekurangan udara.
“Lepaskan aku!” pekikku.
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara rintikan hujan yang mengguyur deras di sebelah kami. Tak ada tanda-tanda Nunu untuk melepaskan pelukannya.
“Nunu, kumohon lepaskan aku. Kau membuatku sulit bernafas.” kataku terbata-bata dengan mata dipicingkan. Tapi Nunu tak juga melepaskan pelukannya dariku.
“Jangan mencoba untuk menjauh dariku.” katanya sambil mengunci gerakanku.
“NUNU!” teriakku dan mendorongnya dengan kuat.
Nunu melepaskan pelukannya dan alisnya berkernyit. Ada rasa kaget di wajahnya.
Aku terbatuk-batuk dengan mata berair.
“Kau gila. Kau hampir saja membunuhku!” seruku masih dengan sensasi menyakitkan dalam paru-paruku.
“Ya, aku memang gila. Dan itu karena kau.”
Aku menegakkan kepalaku dan menatapnya bingung. Dan melupakan sensasi sakit di paru-paru.
“Kau tahu, aku sudah gila karena kau. Karena kau telah mencuri hatiku dan tanpa ampun kau membiarkan hatiku berkembang di hatimu.” Nunu menatapku dengan wajah tersenyum dan sesekali melirik ke arah hujan.
“Hati-hati dengan ucapanmu. Kalau Mira dengar, aku bisa dihajar tau!” ketusku sambil berwaspada. Jauh dalam hatiku aku merasa senang, tapi sisi lain hatiku mengatakan aku tak boleh bergembira karena dia bukan milikku, tapi milik Mira.
“Mira?” tanyanya bingung.
“Ya. Aku tahu kalian pacaran.”
“Pacaran?” kedua alisnya terangkat, menandakan ia bingung. “Apa maksudmu?”
“Sudahlah jangan pura-pura. Aku tahu sekarang kau cuma ingin mengerjaiku.”
Nunu meremas bahuku dan membawa pandanganku kepadanya, “Senja…”
Aku menarik tubuhku dengan paksa dan mundur ke belakang untuk meghindarinya.
“Sudahlah, jangan lagi kau buat aku sedih. Karena aku tak bisa untuk menangis lagi saat ini. Aku terlalu lelah untuk menangisi perasaanku padamu.” Dan kristal-kristal bening mengalir deras di pipiku. Hal yang paling kubenci saat ini, kenapa aku tak bisa menahan air mataku untuk kukeluarkan nanti setelah sampai di rumah.
“Senja, dengarkan dulu kata-kataku.” seru Nunu hampir tak sabar.
“Untuk apa aku harus mendengarkan semua omong kosongmu!”
“Senja! Aku akui, aku memang pernah suka dengan Mira dan berpacaran dengannya. Tapi itu dulu dan tidak untuk sekarang. Dia cuma masa laluku yang sudah berakhir. Sedangkan sekarang ada seseorang yang tengah berdiri di depanku dan dia adalah masa depanku yang menjadi awal dari segalanya.”
“Tapi aku tak mau…” kata-kataku terpotong begitu bibir Nunu menyapu bibirku dan memenjarakanku dalam kediaman.
Beberapa detik berlalu dan hanya terdengar suara tetes hujan yang belum reda. Nunu melepaskan ciumannya dari bibirku dan tersenyum menatapku yang sedikit shock akibat ciuman tadi. Sensasi ciuman masih terasa di bibirku.
“Sungguh ciuman yang berharga.” ucapnya pelan.
Mataku melotot memandangnya penuh hujaman, begitu tersadar dari rasa terkejutku.
“Kenapa kau mencuri ciuman pertamaku?!” tanyaku geram dan hampir memukulnya, tapi sebelum aku melakukannya, ia dengan sigap menggenggam kedua tanganku.
“Karena aku tak ingin orang lain yang mengambilnya darimu. Lagipula kau tak akan percaya pada hatiku jika aku tak melakukannya.” Senyumnya mengembang di bibirnya.
“NUNU! DASAR KAU!” jeritku sambil mencoba melepaskan tanganku dari tangannya.
“Sudah sebaiknya kau diam saja, kalau tak ingin aku cium lagi.”
“Heh!”
Nunu tersenyum kecil dan aku tahu apa maksud dari kata-katanya, karena terbukti di detik kemudian. Ia kembali menyapu bibirku dengan lembut. Dan kali ini aku bisa merasakan hatinya dan cintanya yang begitu besar padaku.
Tanpa kusadari, hari beranjak senja dengan cahaya jingga sang mentari, yang akan kembali ke peraduannya. Dengan diiringi deru hujan yang mulai mereda seiring kanvas hitam
penuh lukisan malam menggantikan kanvas terangnya siang. Cinta di ujung senja, cinta yang bisa kuraih di penghujung waktu sang mentari.
~ The end ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah yang baik dan Sopan